sydney keluarnya martabetoto: Bencana dan upaya mengurangi risikonya

Bencana dan upaya mengurangi risikonya

  • Oleh Erafzon Saptiyulda AS
  • Minggu,sydney keluarnya martabetoto 10 November 2024 04:58 WIB
Bencana dan upaya mengurangi risikonya
Kegiatan pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana) di Desa Cindogo, Kecamatan Tapen, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Jumat (12/7/2024) ANTARA/HO-Foto BPBD Bondowoso
Jakarta (ANTARA) - Bencana, sesuatu yang sulit ditolak karena bisa terjadi kapan saja. Namun, sejumlah jenis bencana bisa diupayakan untuk dicegah, seperti kebakaran.

Selain itu, ada juga potensi bencana yang bisa dideteksi dengan menggunakan teknologi, seperti banjir dan tanah longsor. Tapi, ada pula bencana yang sulit diprediksi seperti gunung meletus (erupsi) dan gempa bumi.

Gempa bumi atau gempa tektonik sulit diprediksi terjadinya, meskipun kemajuan teknologi sudah bisa mendeteksi potensinya. Tetapi tetap sulit memprediksi kapan pastinya akan terjadi.

Memasuki musim hujan, sejumlah daerah sudah saling mengingatkan kepada masyarakat di wilayahnya agar waspada pada potensi banjir dan longsor.

Bencana kebakaran hutan dan lahan, juga kebakaran di wilayah pemukim, sesungguhnya bisa dicegah dengan selalu mengingatkan warga agar tidak abai atau selalu waspada.

Sementara banjir dan longsor kadang sulit menghindarinya karena daya dukung alam yang rusak dan pemerintah daerah serta masyarakat yang alpa untuk merestorasinya.

Banjir dan longsor acap terulang dan terkadang sampai menelan korban jiwa, harta dan benda serta rusaknya fasilitas umum.

Korban, bukan terdampak

Di ruang publik, kerugian yang ditimbulkan acap diperhalus dengan menggunakan istilah "dampak". Eufimisme itu secara psikis mungkin untuk mengurangi beban bagi korban bencana atau menyenangi pihak terkait bahwa tidak ada korban, tetapi hanya pihak yang terdampak.

Pada kondisi tertentu, bencana tidak dapat dihindari, terlebih banyak anggota masyarakat yang tinggal di lokasi bencana atau di daerah potensi bencana, seperti di daerah aliran sungai, di lereng dan punggung gunung, di atas tanah bergerak atau tak menyadari bahwa mereka tinggal di atas tanah labil atau likuefaksi.

Ahli Geologi, Dr.Eng.Imam Achmad Sadisun dari Kelompok Keahlian Geologi Terapan, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB menjelaskan fenomena likuefaksi secara sederhana dapat diartikan sebagai perubahan material yang padat (solid), dalam hal ini berupa endapan sedimen atau tanah sedimen, yang akibat kejadian gempa, material tersebut seakan berubah karakternya seperti cairan (liquid).

Sebenarnya, likuefaksi hanya bisa terjadi pada tanah yang jenuh air (saturated). Air tersebut terdapat di antara pori-pori tanah dan membentuk apa yang seringkali dikenal sebagai tekanan air pori. Tanah yang berpotensi likuifaksi umumnya tersusun atas material yang didominasi oleh ukuran pasir.

Peristiwa likuefaksi yang fenomenal terjadi di Petobo, di Kecamatan Palu Selatan, Sulawesi Tengah, setelah gempa pada Jumat (28/9/2018) yang berkekuatan 7,4 padanskala Richter.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB saat itu  Sutopo Purwo Nugroho dalam konferensi pers  mengatakan sedikitnya 744 rumah di Petobo, Kecamatan Palu Selatan, tenggelam dalam lumpur.

Dalam kasus ini (likuefaksi) upaya mitigasi (mengurangi risiko bencana) sulit dilakukan, terlebih jika warga tidak paham bahwa mereka bermukim atau beraktivitas di atas tanah cair (liquid).

Letusan Lewotobi

Sementara pada kasus letusan (erupsi) Gunung Lewotobi Laki-laki di Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Senin, 4 November 2024, yang menelan korban jiwa sembilan, kemudian dikabarkan menjadi 10 jiwa, itu di luar perkiraan banyak pihak.

Badan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat gunung tersebut erupsi pada Senin (4/11) pagi pukul 02.48 Wita dengan melontarkan pasir dan batu yang menjangkau pemukiman warga.

Sebelumnya sudah berulang dikabarkan kondisi Gunung Lewotobi dan semua pihak terkait, terutama warga diminta waspada dan selalu memantau peringatan dari lembaga yang berwenang.

Apa yang terjadi pada Gunung Lewotobi mengingatkan pada letusan Gunung Merapi di Yogyakarta, khususnya di Desa (Kalurahan) Argomulyo, Kecamatan Caringin, Sleman, DIY, pada 26 Oktober hingga 5 November 2010.

Letusan Gunung Merapi pada 2010 itu mengakibatkan sekitar 3.000 rumah tersapu awan panas, lebih dari 3.000 ekor ternak mati, 398 jiwa meninggal dunia, dan lebih dari 800 orang kehilangan usahanya dan  menyebabkan lumpuhnya perekonomian.

Warga Desa Argomulyo itu semula merasa aman karena jarak desa mereka dari puncak Merapi sekitar 15 kilometer.

Namun, pada malam naas itu, awan panas diikuti dengan hujan pasir dan batu dimuntahkan Merapi melebihi jarak aman yang semula ditetapkan 15 km dari puncaknya.

Mayat bergelimpangan. Mereka yang selamat mengalami luka bakar. Bangunan dan fasilitas hancur.

Dalam kondisi demikian, yang dapat memberi pertolongan pertama adalah masyarakat sendiri karena akses jalan dan akses komunikasi terputus, sebagaimana juga pernah terjadi pada ketika tsunami melanda Aceh.

Berharap pada Destana

Menyadari hal tersebut, Pemerintah membentuk Desa Tangguh Bencana dengan tujuan warga desa yang harus menolong sesama setelah kejadian bencana, baru kemudian pertolongan dari luar datang setelah akses terbuka.

Supriyono (61), relawan Destana Argomulyo yang sehari-hari petani, membenarkannya. Diakuinya, dahulu sebelum erupsi Merapi 2010, mereka warga desa hanyalah penonton.

Awal-awal erupsi, mereka justru mendekati Merapi ingin menyaksikan fenomena alam yang berbahaya, tetapi menarik perhatian.

Mereka mengabaikan peringatan yang disampaikan BMKG, juga tokoh spiritual Mbah Maridjan, hingga awan panas menggulung desa mereka.

Namun, kini, mereka adalah salah satu Desa Tangguh Bencana (Destana) terbaik saat ini. Tidak sekadar memiliki peralatan sederhana, seperti parang, sekop, cangkul, tetapi mereka dilengkapi dengan akses komunikasi yang bisa digunakan meski listrik mati.

Digambarkannya, sebegitu tingginya pengabdian relawan Destana Argomulyo sehingga warga meminta mereka menangani semua kasus bencana.

Kini penanganan bencana melebar, jika terjadi kecelakaan, hajatan, orang hilang, bahkan jika butuh darah PMI, warga meminta mereka yang menangani.

Pemerintah kini sudah membentuk ratusan Destana. Membentuk Destana itu mudah, tetapi menjadikannya tangguh tidak mudah.

Destana menurut BNPB, merupakan desa/kelurahan yang memiliki kemampuan mandiri beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak yang merugikan.

Destana memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana.

Relawan sejati

Destana Argomulyo acap menerima tamu dari berbagai provinsi, kabupaten, bahkan dari mancanegara, seperti dari Singapura atau Australia. Sebagian besar yang tidak ada pada mereka adalah sikap relawan sejati, yakni rela bekerja, berjuang menanggulangi, mengurangi risiko bencana dengan sepenuh hati tanpa mengharapkan apa-apa.

Partono, relawan Destana Argomulyo lainnya yang kehilangan tiga anggota keluarganya, relawan tidak mengharapkan pengakuan dari orang lain, cukup dari Gusti Allah. Relawan harus siap bekerja 24 jam tanpa digaji atau imbalan apapun.

Etos seperti ini yang tidak dimiliki banyak orang yang mengaku relawan, kata Supriyono. Dia diundang banyak pihak untuk mengedukasi relawan, tetapi ketika dipaparkan tentang sikap yang harus dimiliki, banyak yang mengatakan kondisi itu sedikit orang yang bisa.

Terlepas dari itu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah merilis ajakan agar semua pihak di seluruh Indonesia bersiap menghadapi potensi curah hujan Januari - Desember 2025, yang sudah mulai pada November tahun ini.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati  mengatakan bahwa secara umum sepanjang tahun 2025 kondisi hujan lebih bersahabat.

Intensitas curah hujan berkisar antara 1.000 – 5.000 mm per tahun di sebagian besar wilayah Indonesia. Iklim tahun 2025 ini dianggap para ahli klimatologi dan geofisika BMKG sebagai kesempatan strategis bagi sentra pangan untuk meningkatkan produktivitas tanaman, guna mendukung ketahanan pangan nasional.

Meski demikian, Dwikorita tetap mengingatkan semua pemangku kepentingan dan masyarakat  melakukan upaya dini mencegah bencana hidrometeorologi yang berpotensi terjadi selama periode musim hujan tersebut.

Meski cuaca lebih bersahabat, kewaspadaan tetap harus ditingkat karena di bawah langit, semua kemungkinan bisa terjadi.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024