Meningkatkan partisipasi pemilih dan mutu demokrasi di wilayah 3T
Oleh Budi Suyanto
Jumat,pembukaan sidney wanwantoto 8 November 2024 17:01 WIB
Jakarta (ANTARA) - Perhelatan demokrasi kembali digelar pada 27 November 2024, yakni pemilihan kepala daerah secara serentak. Hajatan politik elektoral lokal ini berlangsung di kabupaten/kota dan provinsi, kecuali di kabupaten/kota di Daerah Khusus Jakarta dan Provinsi D.I. Yogyakarta.
Pilkada tersebut untuk memilih sosok-sosok pemimpin terbaik di wilayahnya masing-masing dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pilkada serentak dilaksanakan di berbagai daerah mulai dari wilayah perkotaan, daerah pedalaman, daerah perbatasan dengan negara lain, hingga daerah kepulauan yang terletak di seberang lautan. Penyelenggara berkepentingan agar pilkada serentak ini berjalan sukses, aman, dan lancar.
Salah satu untuk mengukur keberhasilan demokrasi yakni indikator tingkat partisipasi politik pemilih pada pemilu dan pilkada. Aksesibilitas politik, informasi dan telekomunikasi , sumber daya manusia, serta aksesibilitas infrastruktur dan transportasi juga menentukan pada peningkatan partisipasi politik calon pemilih.
Untuk wilayah perkotaan yang memiliki aksesibilitas yang relatif lebih baik, tentu berkolerasi positif terhadap partisipasi politik warganya. Hal berbeda bisa terjadi di daerah-daerah pedalaman, perbatasan, dan wilayah terluar yang dikenal dengan daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Wilayah ini dengan ciri aksesibilitas yang terbatas dan SDM yang kurang. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri dalam peningkatan partisipasi pemilih.
Berkaca pada Pemilu 2024 pada Februari lalu, tingkat partisipasi politik pemilih secara nasional mencapai 81 persen, di atas target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020--2024 sebesar 79,5 persen.
Secara nasional, partisipasi politik rakyat Indonesia cukup tinggi, namun di daerah-daerah yang masuk kategori 3T, perlu perhatian khusus agar partisipasi politik warganya meningkat, minimal bisa mencapai target yang ditetapkan Pemerintah dalam RPJMN.
Ada beberapa daerah tertinggal yang partisipasi politiknya rendah, antara lain, Kabupaten Belu hanya 60 persen, Kabupaten Kupang (70 persen), sementara Kabupaten Sigi (80 persen) dan Kabupaten Donggala (81 persen) atau sama dengan rata-rata nasional. Kabupaten Lombok Utara, salah satu daerah 3T, ternyata partisipasi politiknya mencapai 87 persen, jauh di atas partisipasi nasional.
Daerah-daerah yang tergolong 3T memiliki karakteristik sebagai daerah yang secara geografis, sosial-ekonomi, budaya, serta tingkat pendidikan dan sumber daya manusia (SDM) kurang berkembang dibandingkan daerah lainnya secara nasional. Daerah 3T juga menjadi tapal batas dengan negara lain, terdepan atau terluar dari elatase wilayah RI yang jauh dari pusat layanan administrasi pusat.
Perpres No.63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020--2024 menyebutkan ada 62 kabupaten yang masuk ke dalam kategori daerah tertinggal, antara lain, di provinsi ada empat kabupaten, Sumbar, Sumsel, Lampung, dan NTB masing-masing 1 kabupaten. NTT (13 kabupaten), Sulteng (3 kabupaten), Maluku (6 kabupaten), Maluku Utara (2 kabupaten), Papua Barat (8 kabupaten), dan Papua sebanyak 22 kabupaten.
Daerah tertinggal ini menghadapi masalah keterbatasan ekonomi, sosial, infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan.
Daerah terdepan berada di garda depan pertahanan negara. Wilayah ini biasanya berbatasan langsung dengan negara lain dan memiliki peran strategis dalam menjaga kedaulatan negara. Sementara daerah terluar letaknya jauh dari pusat pemerintahan dan memiliki aksesibilitas yang terbatas.